Jangan Alergi Utang

solusi-utangCALON Wakil Presiden Boediono mulai menjejakkan kakinya di jalur politis strategis untuk menggalang public opinion ke seluruh Indonesia. Setelah deklarasi pencalonan di Bandung, langkahnya pertama yang ia lakukan mengunjungi perusahaan surat kabar terbesar di Indonesia, Kompas, Selasa (19/5).

Di situ pulalah, Boediono menyampaikan pandangan yang selama ini menjadi momok bangsa Indonesia, menyangkut utang. Dia menegaskan utang merupakan proses kehidupan dalam ekonomi modern. Karenanya ia minta tidak perlu alergi terhadap utang untuk membangun Indonesia.

“Nah kalau utang, dari dulu saya tidak berubah dari posisi awal. Jangan alergi terhadap utang. Utang itu bagian dari proses kehidupan ekonomi modern. Siapa yang enggak punya utang?” tandas Boediono memberi argumentasi atas belitan utang Indonesia.

Hanya saja, utang tersebut harus diperhatikan dan dikawal, jangan sampai jumlah utang melebihi kemampuan. Terutama utang luar negeri. Utang dalam negeri risikonya lebih kecil. Utang luar negeri harus berada dalam rambu-rambu yang jelas dan ada itung-itungannya secara jelas.

Dia menandaskan utang harus digunakan secara produktif. Produktif dalam dua hal, untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nasional jadi infrastruktur macam-macam dan untuk meningkatkan kualitas manusianya.

“Kalau dua-duanya bisa kita jadikan sasaran penggunaan utang, ya enggak ada masalah. Jadi jangan, sekali lagi, jangan mengambil utang sebagai tujuan akhir, seperti juga pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan lain sebagainya,” kata dia.

Menurut catatan terakhir, posisi utang negara Indonesia yang dikelola Departemen Keuangan berada pada posisi Rp1.420 triliun (Rp 1.420.000.000.000.000). Menurut Dirjen Pengelolaan Utang Negara Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto, utang tersebut terbagi menjadi dua, yakni sekira Rp 820 triliun dalam bentuk surat berharga dan sisanya Rp 600 triliun pinjaman luar negeri. Pinjaman itu baik dari bank komersial luar negeri atau pinjaman multilateral.

Sebagai bandingan, berdasarkan publikasi Bank Indonesia, data utang swasta Indonesia pada kuartal IV 2008 mencapai US$ 62,57 miliar, sedangkan utang luar negeri pemerintah US$ 66,51 miliar, sehingga total utang luar negeri Indonesia pada akhir 2008 mencapai US$ 129,07 miliar.

Dengan kurs Rp 11.000/ dolar AS, maka jumlah utang luar negeri Indonesia setara Rp 1.419, 77 triliun. Jumlah utang ini belum termasuk utang obligasi pemerintah atau SUN (Surat Utang Negara) yang nilainya sudah mencapai Rp 920 triliun.

Lalu pertanyaannya berapa sebenarnya utang Indonesia? Logikanya, Rp 1.420 triliun ditambah Rp 920 triliun jadi Rp 2.340 triliun, inilah utang Indonesia. Orang bilang sampai bonyok atau jadi fosil, negara kaya raya, indah nan permai ini tidak akan bisa terbebas dari jerat sistemik utang global.

Negara maju sebagai pemilik modal begitu lihai memainkan peran masa depannya dengan cara tetap menyuapi mulut negara yang punya hobi utang, agar mereka bisa tetap mendapat suapan makanan lengkap dengan asupan secara kontinyu dari negara ‘miskin’ seperti Indonesia. Tanpa utang, maka gelaplah masa depan negera-negara pemilik modal itu. Oleh karena Indonesia harus tetap dilestarikan sebagai domestic animal, agar sumber ekonomi negara maju tidak akan pernah redup.

Celakanya ilmu dan pengetahuan pemimpin dan calon pemimpin Indonesia masih segitu ukurannya, tetap menjadikan utang sebagai basis politik untuk kemajuan ekonomi. Nah, sekarang ini kita mencari calon pemimpin yang memiliki kapasitas dan kemampuan melampaui itu semua, agar masyarakat negeri ini tidak menjadi melarat karena menjadi sapi perahan negara pemilik modal. Adakah itu? Hayo siapa bisa menjawab! (*)

Sumber: Tribun Kaltim

Zonapikir: Cawapres Boediono; “Nah kalau utang, dari dulu saya tidak berubah dari posisi awal. Jangan alergi terhadap utang. Utang itu bagian dari proses kehidupan ekonomi modern” <BR>Wahh…!! gimana Indonesia mo sjahtera jika hobinya ngutang terus, sehingga untukl mmbayar utang dan pembiayaan operasional negara lainnya akhirnya pajak dinaikkan, BUMN** diprivatisasi, smentara proyek dari hasil hutang jadi proyek gagal… slalu Rakyat yg jd korban hrs mmbayar utang yg smpe hari ne Rp 2.340 triliun

Selain itu subsidi terhadap barang maupun jasa utk kebutuhan masyarakat semakin dikuragi, bahkan dicabut dgn alasan APBN defisit.

Sebetulnya banyak cara agar negeri ini bisa makmur dan sejahtera tanpa harus terjerat utang. Namun, dalam ruang yang terbatas ini, paling tidak ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama: penguasa negeri ini harus memiliki kemauan dan keberanian untuk berhenti berutang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai sumber pendapatan dalam APBN. Penguasa negeri ini juga harus berani menjadwal kembali pembayaran utang. Anggaran yang ada seharusnya difokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuahan rakyat di dalam negeri. Cicilan utang harus ditanggguhkan jika memang menimbulkan dharar (bahaya) di dalam negeri. Bahkan bunganya tidak boleh dibayar karena termasuk riba, sementara riba termasuk dosa besar.

Kedua: penguasa negeri ini harus berani mengambil-alih kembali sumber-sumber kekayaan alam yang selama ini terlanjur diserahkan kepada pihak asing atas nama program privatisasi. Sebab, jujur harus diakui, bahwa pada saat Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan terjebak utang, swasta dan investor asing justru menikmati pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama oleh masyarakat. Misal: perusahaan Exxon Mobil, yang menguasai sejumlah tambang migas di Indonesia, pada tahun 2007 memiliki penghasilan lebih dari 3 kali lipat APBN Indonesia 2009. Keuntungan bersih Exxon Mobil naik dari 40,6 miliar dolar pada tahun 2007 menjadi 45,2 miliar dolar tahun 2008 (Investorguide.com, Exxon Mobil Company Profile). Ini baru di sektor migas.

Sebagai catatan PT Freeport, yang menguasai tambang emas di bumi Papua. Tambang emas di bumi Papua setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun.

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Tinggalkan komentar